Renungan





“Sesungguhnya Allah SWT tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Ar-Ra’du; 11)





Rabu, 07 Maret 2012

Spirit Kapital Perempuan Pesisir

Judul Buku :Ruang Sosial Perempuan Pesisir
Penulis       : Abdul Chalik, Nurul Yakin
Penerbit     : Interpena, Yogyakarta & BP2M STAIDRA Lamongan
Cetakan    : Pertama, 2008
Tebal        : xii + 160 halaman.
persensi    :hilyaliya





Eksistensi Kepulauan Nusantara, termasuk Pulau Jawa, sebagai wilayah maritim telah lama dikenal dunia. Kondisi ini bukan hanya menguntungkan bandar-bandar (kota) di pesisir pantai utara pada masa lalu, namun juga mampu menghidupi para penduduk yang mendiami teritori pesisir dan kemudian menciptakan status sosial yang khas, nelayan.

Kehidupan pantai dengan terik matahari yang menyengat dan pengalaman berburu ikan di laut lepas membuat kehidupan nelayan identik dengan budaya serba keras dan kasar. Namun pada masa dimana kapal dan perahu menjadi satu-satunya alat transportasi yang menghubungkan antar peradaban, komunitas pesisirlah yang mula-mula berinteraksi secara langsung dengan kebudayaan luar pulaunya. Tidak mengherankan apabila kemudian penyebaran agama pun dimulai dari kawasan pesisir.

Sekitar daerah pantai utara Jawa, atau yang biasa dikenal dengan Pantura, sendiri sejak abad 15 telah berdiri pelabuhan-pelabuhan yang menjadi tempat persinggahan para saudagar Muslim dari berbagai negara, utamanya dari India, Campa, Gujarat dan Arab. (halaman, 8). Karenanya Lasem, Tuban, Gresik, dan Surabaya pada masa itu juga sudah dikenal sebagai kota Bandar, tempat lalu-lalang kapal yang melakukan perniagaan.

Pencarian Identitas Nelayan

Buku ini pada awalnya merupakan kajian yang menggabungkan riset dan pemberdayaan dalam satu paket kegiatan, atau yang biasa disebut sebagai metode Participatory Action Research (PAR), oleh duet penulisnya Abdul Chalik dan Nurul Yakin terhadap komunitas nelayan di daerah Kranji, Lamongan Jawa Timur.

Masyarakat nelayan Kranji mengenal sistem yang secara hierarkis dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua unsur yang terlibat dalam penangkapan ikan. Yaitu: Daokeh merupakan sebutan untuk pemilik perahu, biasanya tidak tahu-menahu tentang urusan operasional. Jragan merupakan orang yang bertanggung-jawab terhadap operasional perahu. Belah adalah sebutan untuk orang-orang yang ikut terlibat dalam pengoperasian kapal secara keseluruhan.(halaman, 16).

Terungkap terdapat tiga hal yang menjadi kendala utama para nelayan, terutama di Kanji, dalam aktivitas keseharian mereka. Pertama, terbatasnya teknologi navigasi bagi para nelayan tersebut untuk mendapatkan hasil tangkapan yang mencukupi. Meskipun pada tahun 1977 telah dikenal perahu kapal porsesaine atau masyarakat Kanji menyebutnya Kusin, perahu yang menggunakan mesin temple dengan bahan bakar solar atau bensin, untuk menggantikan Puket Ireng , namun masuknya budaya popuer nan konsumtif membuat alat tersebut diyakini tidak mampu mencukupi kebutuhan para nelayan tersebut. (halaman, 56).

Kedua, terbatasnya sumber dana. Permodalan merupakan masalah krusial yang mengganggu percepatan nelayan Kranji menutupi kebutuhan hidupnya. Sehingga muncul pemeo, “gali lobang tutup lobang”. Model kredit kepada para Daokeh (pemilik perahu) menyebabkan para nelayan masuk lingkaran setan yang tak berkesudahan mengingat posisinya yang lemah dibanding Daokeh.

Ketiga, proses penangkapan ikan dan pembagian hasil. Berbeda dengan penangkapan ikan dengan teknologi modern, menggunakan teknologi yang tergolong tradisional seperti nelayan Kranji bukan hanya kesulitan tetapi juga menimbulkan beberapa masalah. Pertama, kerusakan lingkungan akibat adanya pembangunan pelabuhan membuat ikan menjauh dan para nelayan tradisional ini mengalami kesulitan berarti. Kedua, ketergantungan terhadap alam. Ketiga, pembagian hasil tangkapan. Ketika musim along (banyak ikan) dan hasil tangkapan melimpah maka semua unsur baik Daokeh, Jragan, dan Belah dapat merasakan keuntungan, akan tetapi ketika ngoreng (tidak dapat ikan) atau musim baratan, tidak jarang seorang Belah yang bekerja di Laut 2-3 hari hanya mendapatkan 10 ribu rupiah.

Belakangan, seiring dengan kemajuan teknologi, transformasi, informasi dan pergeseran peta kekuasaan, posisi pesisir sebagai benteng peradaban lambat laun bergeser ke wilyah “pedalaman”. Profesi nelayan dan penghuni pesisir pulau pun bukan lagi menjadi favorit, terlebih segala kebijakan pemerintah yang kerap tidak berpihak pada strata masyarakat kelas ini, membuat nelayan harus lebih keras membanting tulang demi mencukupi kebutuhannya.

Perempuan Pesisir

Pada akhirnya perubahan tersebut bukan hanya merubah ekonomi nelayan, tetapi juga memaksa mereka untuk mendekonstruksi segala pranata sosial yang ada, entah kemudian perkembangannya mengarah ke arah yang lebih positif maupun sebaliknya. Salah satu pergeseran budaya tersebut dapat terlihat dari bagaimana konsepsi di kalangan nelayan sendiri mengenai relasinya dengan kaum Hawa alias perempuan.

Potret perempuan yang hanya berperan sebagai konco wingking laki-laki, dalam tradisi masyarakat Jawa, dan peranannya hanya berkutat pada ruang domestik meliputi: dapur, sumur dan kasur nampaknya sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Setidaknya demikian hasil riset penulis buku ini yang dilakukan pada masyarakat Kranji, Lamongan Jawa Timur.

Dalam kultur yang patriarkis, posisi perempuan yang ter-subordinasikan oleh kalangan laki-laki biasanya terjadi di ruang-ruang publik, sehingga ruang publik tersebut kemudian menjadi identik dengan dunia laki-laki. Hegemoni laki-laki atas kaum perempuan ini bisa dilandaskan atas berbagai aspek, seperti: secara fisik laki-laki lebih kuat dibanding perempuan, adanya asumsi bahwa psikologis perempuan lebih rapuh dan selain itu biasanya juga di back-up oleh pemahaman atas klaim-klaim agama yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan.

Selain itu, perempuan juga sering dicitrakan sebagai manusia yang lemas, tidak mampu untuk mandiri. Sehingga kemudian dibebankan tugas-tugas yang dianggap lebih ringan, seperti mengurus anak, memasak dan lain sebagainya. Sedangkan tugas yang lebih berat dibebankan kepada laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan berkewajiban pencari nafkah.

Tuduhan-tuduhan tersebut ternyata tidak berdasar, setidaknya demikianlah potret perempuan nelayan di Kranji. Selain menjalani kehidupan keagamaan yang kuat, mereka juga perempuan pekerja keras. (halaman, 94). Hanya sedikit diantara mereka yang menganggur pada jam-jam di luar aktivitas rutin sebagai ibu rumah tangga.

Keterlibatan perempuan dalam urusan ekonomi pada awalnya merupakan keterpaksaan, untuk membantu pendapatan keluarga yang tidak mampu dipenuhi secara maksimal oleh suami. Bu Asrifah misalnya yang berkeliling kampung setiap hari berjualan nasi bungkus. Selain itu, demi membantu suami yang berprofesi nelayan, ia juga mempunyai usaha krupuk.

Lain lagi dengan Mbah Karmi, 80 tahun, seorang janda yang hidup sebatang kara telah enekuni usaha krupuk ikan ini mulai tahun 1953 dan masih eksis hinga kini, meskipun usahanya hanya menghasilkan pemasukan 10.000/perhari. Spirit kapital para perempuan pesisir ini patut diacungi jempol, terlebih di tengah kondisi sulit bangsa ini.

http://hilyaliya.wordpress.com/2011/01/27/spirit-kapital-perempuan-pesisir/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar