Renungan





“Sesungguhnya Allah SWT tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Ar-Ra’du; 11)





Jumat, 23 Maret 2012

Kiai teladan umat; membangun masyarakat melalui pesantren

Judul buku : KH. Moh. Baqir Adelan; organisatoris, ulama’ dan teknokrat
Penulis : Nuril Ahmad, dkk.
Tebal : 120 halaman
Penerbit : TERBIT TERANG Surabaya
Peresensi : Anang Romli, S.Pd.I.*

Diantara yang pernah dikuluhkan oleh Gus Mus adalah minimnya budaya tulis menulis di lingkungan Pondok Peasantren, terutama menulis tentang biografi sang kiai sendiri. Begitu kiai sudah meninggal dunia, sang kiai jadi hanya tinggal cerita tutur saja. Senada dengan itu Agus Sunyoto berkata, NU harus ditulis dari dari banyak segi. Pesantren dan kiai adalah dua hal yang menjadi identitas islam Indonesia. perkembangan dan keteladanan seorang kiai akan menjadi pedoman dan panutan bagi masyarakat. Disitulah pentingnya biografi kiai di tulis.

Kekhawatiran Gus Mus di atas memang perlu diperhatikan namun tidak demikian dengan di lingkungan Pondok Peasantren Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan, begitu sang kiai besar meninggal dunia maka para asatidz membentuk tim penyusun penulisan biografi beliau.

Buku dengan judul biografi KH. Moh. Baqir Adelan; organisatoris, ulama’ dan teknokrat, yang ditulis oleh Nuril Ahmad, dkk ini, kita mendapatkan gambaran yang luas perjalanan KH. Moh. Baqir Adelan yang bisa di katakan cukup mumpuni dalam berbagai bidang. Mulai dari keilmuan agama yang mendalam, jiwa wirausaha, organisatoris, da’i, pendidik, teknokrat bahkan ketokohan dan komitmenya dalam memegang ajaran islam.
Dari segi keilmuan agama sudah tidak dapat diragukan kiai sepuh yang dengan segudang ilmu dengan konsep dakwa yang ramah tapi punya prinsip dan ketegasan yang dapat diacungi jempol sehingga disegani bukan saja dari kalangan NU, Muhammmadiyah pun mengakui ketokohanya.

Dari segi wirausaha KH. Moh. Baqir Adelan terbilang keras untuk merintis usaha mandiri dengan harapan agar bias hidup mandiri tidak mengandalkan orang lain. Hal ini beliau mulai sejak balita yaitu menjaga jualan sang ibu di lokasi pondok. Jiwa wirausaha juga di tunjukkan beliau ketika sambil mondok di Jombang yaitu dengan cara membuat rokok lintingan cap sapu tangan dan membeli padi kering dari masyarat sekitar kemudian dijual ke agen yang lebih besar. Untuk memenuhi kebutuhan santri, di pondok jombang saat itu belum ada koprasi beliau beliaupun merintis dan menjual kitab untuk pengajian para santri. (Hal: 39). 

Kemandirian adalah ciri khas pesantren di sinilah kiai Baqir mengembangkan wirausaha untuk membiayai pesantren yang beliau pimpin. Bidang usaha yang ditekuni adalah muebel, bisnis kayu jati dan produksi kapal penangkap ikan yang mendapatkan apresiasi tinggi dari Gubernur Jatim waktu itu bapak Soelarso. 

Keseimbangan dunia dan akhirat adalah yang didambahkan. KH. Moh. Baqir Adelan tidak mau hanyut berwirausaha apalagi di pondok tujuan utamanya adalah belajar ilmu agama dalam hal itu beliau belajar kepada KH. Wahab Wasbullah dan privat kepada KH. Abdul Jalil. (Hal: 38)

KH. Moh. Baqir Adelan Dalam bidang dakwa bukan saja saat beliau mengasuh pondok peasantren Tarbiyatut Tholabah, melainkan sebelum menempuh pendidikan di Jombang, saat mondok dijombang juga. Yang unik disini kiai baqir terkenal pendiam dan disegani tidak sembarangan orang yang bisa bercanda dengan beliau tetapi dilain sisi mempunyai komunitas masyarakat binaan yang relatif jauh dari peasantren yaitu desa Pagak Magaluh Jombang (hal:40). Jadi, di lain sisi beliau jadi wirausaha, guru, santri juga da’i di masyarakat. 

Buku setebal 120 halaman ini dibagi dalam enam bagian. Bagian pertama pendahuluan, bagian kedua; pengertian, sejarah berdirinya Pesantren Tarbiyatut Tholabah. Bagian ketiga; kelahiran, pendidikan dan silsilah KH. Moh. Baqir Adelan. Bagian keempat; dinamika pemikiran KH. Moh. Baqir Adelan. Kelima: hasil karya dan kesenian KH. Moh. Baqir Adelan. Bagian keenam: kesan kesan.

Namun demikian buku ini ditulis ketika beliau sudah meninggal dan beliau tidak meninggalkan catatan pribadi tentang perjalanan hidup beliau mungkin ada sedikit kisah yang terputus, sehingga kurang sempurna. Namun penulis buku ini menuturkan masih terbuka lebar untuk meneliti dan menulis ulang tentang buku KH. Moh. Baqir Adelan untuk perjalanan kisah sang kiai.

Juga sebagai catatan, pertama, adalah sepak terjang beliau di dunia politik, bagaimana keterlibatan dalam politik memang beliau tidak nampak sebagi politisi namun keterlibatan untuk membangun politik mempunyai banyak peranan. Kedua, belum terungkap tokoh siapa saja yang mempengaruhi beliau. Mengutip dari jalaluddin rahmat bahwa “tumbuh kembangnya sikap dan perilaku seorang itu bisa di pengaruhi orang disekitarnya dan tokoh yang sudah wafat”, artinya karya siapa atau buku apa yang mempengaruhi pemikiran dan perilaku beliau selain orang sekitar.

Terlepas dari segala kekurangan buku ini memberikan sumbangsih yang besar dalam merekam jejak sang kiai teladan ummat ‘amilun bi ‘ilmih. Selamat membaca!

*Anang Romli: santri PP TABAH pengagum kiai Baqir kini sekretaris PP IKBAL TABAH juga Divisi hubungan dan komunikasi KORCAB PKC PMII JATIM.

Kamis, 22 Maret 2012

Profil Ikbal tabah online

Blog IKBAL TABAH adalah sistem informasi alumni Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan. Lahir atas kesepakatan pengurus pusat IKBAL TABAH di pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji pada tanggal 01 Februari 2012. Dengan diterbitkan sistem informasi online ini pengurus pusat ikbal tabah berusaha merekam kegiatan lembaga, perkembangan dan peranan alumni yang sudah tersebar luas di Nusantara.

Diantara tugasnya adalah memberikan informasi kepada masyarakat, para sivitas akademika di lingkungan Yayasan dan semua komponen yang mempunyai kepentingan untuk membangun Tarbiyatut Tholabah. Tidak lupa pula ikbal tabah online juga berusaha menghimpun pemikiran para alumni untuk kemajuan islam dan NKRI. Oleh karena itu, ikbal tabah online menerima tulisan dari para alumni.

blog ikbal tabah menerima tulisan untuk rubrik kolom dan resensi buku. Kolom dengan tema sekitar: 1. Pengembangan IKBAL TABAH sebagai organisasi. 2. Pengembangan Pesantren Tarbiyatut Tholabah. 3. Keislaman dan kebangsaan. 4. Pendidikan islam (kepesantrenan). Resensi buku, ini difokuskan pada buku karya alumni buku apapun jenisnya; baik buku wacana, buku perkuliahan, buku diktat para guru dan dosen dari hasil kajian untuk mengajar atau buku buku yang lain.

Dewan redaksi:
Penanggung jawab : ketua umum ikbal tabah
Ketua : Anang
Sekretaris : Rony
Bendahara : Saifuddin
Reporter : Heru, Faizin, Hasan, Hafid.
Fotografer : Saep
Biro Jakarta : Zibad
Biro malang : Bustakul
Biro jogja : Gatot
Biro Surabaya : Badrul
Layout : Amin
Publikasi : Bustanul
Sekretariat : kantor Yayasan ruang B. Jl: KH.Musthofa no 1. Kranji Paciran Lamongan 62264. CP: 085730913990 (anang). e-mail admin: a.ikbal10@yahoo.com

Sabtu, 17 Maret 2012

KH. Muh. Baqir Adelan; Berwirausaha untuk Membiayai Pesantren*

Pesisir pantai utara (Pantura) Jawa Timur adalah kawasan yang membentang dari garis pantai Tuban yang berbatasan dengan Jawa Tengah hingga ke timur sampai di pantai Surabaya. Garis pantai selanjutnya, dari Surabaya ke selatan hingga ujung pantai Banyuwangi, biasanya disebut sebagai kawasan Tapal Kuda. Kedua kawasan ini sama-sama merupakan kawasan yang didiami oleh mayoritas masyarakat santri.
Sejak zaman-zaman awal kedatangan Islam ke pulau Jawa, di kawasan ini banyak sekali didirikan lembaga pendidikan pesantren. Penduduk hidup dalam suasana religius dan berjiwa bebas. Maka demikian pulalah suasana dan psikologi penduduk di Paciran, Lamongan Jawa Timur, tanah kelahiran KH. Muhammad baqir Adelan, pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah, Paciran, Lamongan.
Di sebuah desa yang terletak di pesisir Utara Jawa Timur, tepatnya di Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, pada tanggal 30 Agustus 1934 M. bertepatan dengan tanggal 19 Jumadil Ula 1354 H. lahirlah seorang bayi mungil yang diberinama Baqir, sebagai putera keenam dari duabelas bersaudara buah perkawinan KH. Adelan bin Abdul Qodir Kranji dengan Nyai Hj. Sofiyah binti KH. Musthofa.
Anak ini kemudian tumbuh dan menikmati masa kanak-kanaknya dengan dikaruniai kecerdasan yang melebihi teman-teman sepermainannya. Karena situasi dan psikologi masyarakat Pantura yang bebas dan berkemandirian, maka ia pun memiliki keberanian dan bakat-bakat wira usaha sejak kecil.
Memulai pendidikan pertamanya dengan ngangsu ilmu langsung dari Ibunda tercintanya, Hj. Nyai Shofiyah dan neneknya, Nyai Aminah Sholeh, lalu pada pamannya, KH. Abdul Karim dan kemudian memeperdalam bekal ilmu dasar dari Kakeknya KH. Musthofa Abdul Karim. Sejak usia tujuh tahun, Baqir kecil juga belajar di pendidikan formal, Madrasah Tarbiyatut Tholabah Kranji yang dipimpin oleh pamannya, KH. Abdul karim Musthofa selama empat tahun. Untuk kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah Muallimin Desa Tunggul Paciran pada tahun 1940-1944 M. di bawah pimpinan ulama pejuang, KH. Muhammad Amin Musthofa.
Karena bekal pendidikannya yang seperti ini maka tak heran jika sejak usia empat belas tahun ia telah dipercayai oleh gurunya untuk ikut mengajar di pesantren dan turut berdakwah di masyarakat. Dari Madrasah Muallimin Tunggul paciran inilah, Muhammad Baqir mulai dipercaya untuk mencoba menularkan ilmunya kepada masyarakat.
Namun karena dirasa bekalnya belum mumpuni, maka ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang pada tahun 1952 M. yang saat itu diasuh oleh KH. Abdul Jalil.
Satu hal di antara kelebihannya ketika masih berstatus santri di Tambakberas ini adalah jiwa kewirausahaannya yang mulai tumbuh. Karena diterima di kelas lima (rata-rata siswa lain diterima di kelas empat), maka ia hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk menamatkan tingkat Ibtidaiyah. Karena ingin mandiri, setelah menamatkan tingkat Ibtidaiyah, ia pun pindah dari asrama dan tinggal di Desa Bulak sembari tetap mengaji di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas.
Di Desa Bulak inilah ia memulai kemandiriannya dengan menjalani usaha kecil-kecilan berupa jual-beli hasil bumi penduduk di desa-desa sekitarnya. Hasil usahanya ini bahkan telah dapat digunakan untuk membantu orang tuanya membiayai pendidikan adik-adiknya. Setahun kemudian ia meneruskan pendidikannya dengan belajar kepada KH. Bisri Sansuri di Pesantren Manbaul Ma’arif Denanyar Jombang selama empat tahun kemudian. Selain mengaji Baqir yang telah menjadi seorang ustadz muda ini, juga turut dipercaya untuk membantu mengajar di pesantren Manbaul Ma’arif ini.

Mengembangkan Pesantren Keluarga
Karena Pesantren Tarbiyatut Thalabah yang diasuh keluarganya kemudian juga membutuhkan guru-guru baru, Baqir Adelan kemudian ke kampungnya sendiri. Sepeninggal KH. Musthofa (kakeknya), kepemimpinan pesantren diserahkan kepada menantunya, KH. Adelan Abdul Qodir (ayah Baqir) hingga sang ayah wafat pada tahun 1976 M. Dengan demikian, KH. Baqir Adelan inilah yang kemudian diserahi kepemimpinan Pesantren Tarbiyatut Tholabah.
Selanjutnya KH. Baqir Adelan mulai menumpahkan seluruh kehidupannya untuk mengabdi kepada masyarakatnya melalui jalur pendidikan keagamaan (pesantren). Namun hal ini bukan berarti membuatnya meninggalkan dunia yang telah dirintisnya dari awal, yakni dunia usaha. Toh, sebagai seorang pengasuh pesantren kemandirian pribadinya tetap terlihat, hal ini terbukti bahwa sebagai seorang pengasuh pesantren, KH. Baqir Adelan masih selalu menyempatkan diri untuk mencuci sendiri baju-bajunya. Kepeduliannya kepada kehidupan keseharian santri diwujudkan dalam didikannya untuk terjun langsung membangunkan para santri ketika subuh dan memantau satu persatu perkembangan para santrinya, serta secara rutin mengunjungi kantor-kantor lembaga yang dipimpinnya agar para santri tetap dapat mengikuti sekolah dengan baik.
Ia kemudian berusaha mengembangkan bisnisnya untuk menunjang pembiayan pesantren yang diasuhnya. Membentuk forum silaturrahim berbungkus arisan bagi masyarakat dalam rangka menjaga keharmonisan hubungan antara pesantren dengan masyarakat. Kegiatan ini diikuti leh seluruh nelayan di wilayah pesisir utara Lamongan. Kesempatan ini, bagi KH. Baqir Adelan dapat berfungsi ganda, yakni sebgai media dakwah sekaligus mengembangkan jaringan bisnis di antara sasama nelayan dan warga pesantren.
Semakin bertambah usianya, semakin banyaklah pengalaman hidupnya, dan berkembang pula naluri bisnis yang telah diasahnya sejak kecil. Setelah pulang kembali ke Paciran, ia melebarkan sayap usahanya dengan membuka pelayanan pemesanan kitab-kitab bagi madrasah di lingkungan LP Ma’arif Kortan Paciran pada tahun 1958-1975 M.
Kelihaiannya berbisnis semakin tampak tatkala ia melakukan ekspansi dagang di bidang kayu jati. Pada mulanya memang hanya untuk menyediakan bahan baku bagi pembuatan bangku-bangku dan peralatan sekolah. Namun usaha ini kemudian terus berkembang hingga pada tahun 1975 berdirilah usaha meubeler bernama UD. Barokah Sejati yang bergerak di bidang penyediaan kayu jati sebagai bahan baku pembuatan perahu nelayan.
Beberapa tahun kemudian, selain sebagai ulama pengasuh pesantren, KH. Baqir Adelan juga terkenal sebagai pengusaha kayu. Terutama ketika kemudian, mertuanya, H. Mas’ud, memiliki ide kontroversial, yakni menginginkan agar KH. Baqir Adelan mengembangkan pembuatan jenis perahu baru bagi nelayan setempat. Sebuah model perahu nelayan semi modern sebagai produk baru usaha dagangnya. Sebuah perahu bermesin tempel dan bergardan untuk menarik pukat di bagian belakang.
Ide ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakatnya, karena selama ini para nelayan setempat hanya menggunakan perahu tradisional untuk mencarai nafkah. Masyarakat menganggap bahwa perahu model barunya hanyalah sebuah usaha yang sia-sia. Namun anggapan ini tidaklah membuatnya surut dan mengurungkan niat. Ia tetap teguh meneruskan usahanya, hingga akhirnya kegigihannya berbuah. Kini hampir semua nelayan di pesisir Lamongan menggunakan perahu jenis ini. UD. Barokah sejati yang dirintisnya pun semakin berkembang dan tentu saja sebagian labanya digunakan untuk mengembangkan Pesantren Tarbiyatut Tholabah asuhannya yang terus berkembang.

Konsep Bisnis KH Baqir Adelan
Dalam mengembangkan usaha yang dirintisnya dari kecil hingga menjadi sebuah usaha besar di kawasannya ini, KH. Baqir Adelan memiliki beberapa prinsip yang terus dipegang dan dijalankannya sebagai sebuah idealisme usaha.
Pertama, realistis, yakni hanya mengerjakan pekerjaan sebatas kemampuan keuangan perusahanaan dan order yang diterima. Bila menerima pesanan yang tidak mampu dijalankan maka perusahaan akan menolak order ini.
Kedua, amanah dan konsisten, dengan memberlakukan harga tetap sesuai kesepakatan awal meskipun harga bahan baku ternyata naik di tengah-tengah pengerjaan order. UD. Barokah Sejati juga senantiasa menjaga kualitas barang produksinya, menjaga kualitas pekerjaan para karyawannya sehingga tidak mengecewakan pelanggan.
Ketiga, hati-hati, teliti dan berani, perjanjian-perjanjian kontrak jual beli disesuaikan dengan aturan-aturan yang berlaku dalam hukum fikih. Karena pengalamannya yang matang, KH. Baqir Adelan adalah sorang yangsangat teliti dalam menaksir harga-harga bahan baku dan biaya pembuatan sebelum menaksir biaya pemesanan yang harus dibayarkan oleh klien/konsumen. Di sisi lain UD. Barokah Sejati tidak pernah minder untuk bersaing dalam memenangkan tender lelang berhadapan dengan badan usaha-badan usaha lain yang lebih besar.
Keempat, adil dan kooperatif, dengan menyelesaikan pesanan sesua waktu yang disepakati. Selalu mendahulukan pengerjaan order yang lebih dahulu disepakati meskipun ada lagi order yang lebih tinggi nilainya, dan bahkan jika meninggalkan deposit (uang muka) lebih besar dari yang terdahulu.
Selain mengasuh pesantren dan menjalankan usaha dagangnya, KH. Baqir Adelan juga aktif dalam berbagai kegiatan NU di wilayahnya. Tercatat Beliau adalah salah satu pelopor berdirinya NU di tengah semakin menguatnya hegemoni Masyumi di wilayah Paciran pada tahun 1965 M. Dipercayai sebagai ketua Kortan Ma’arif MWC NU kecamatan Paciran (1967-1975). Wakil Rois Suriah PCNU kabupaten lamongan (1982-1992). Rois Suriah PCNU Lamongan (1992-2002). Mustasyar PCNU Lamongan (2002-2005). A’wan Suriyah PWNU jawa Timur sejak 1993 dan Ketua Suriah PCNU lamongan (2005 hingga meninggal tujuh bulan sejak dilantik). Sementara di luar NU, KH. Baqir Adelan juga turut dipercaya sebagai Ketua MUI Lamongan, Penasehat Bazis Lamongan dan jabatan-jabatan kehormatan lainnya.

Spiritualitas dan Karya Tulis
Dalam mengasuh pesantren dan menjalankan Bisnisnya, KH. Baqir Adelan tidak pernah meninggalkan sholat dhuha, kecuali ketika bepergian. Istiqomah menjadi imam di Masjid al-Ihsan atau berjamaah dengan keluarganya. Rutin membaca kitab Tafsir Jalalain selepas sholat ashar di hadapan para santri putra dan selepas sholat maghrib di hadapan santri putri dengan harapan dapat menghatamkan kitab ini setiap tiga tahun sekali. Sementara kedekatan spiritualnya dengan masyarakat ditandai dengan pembacaan kitab Ibanatul Ahkam (Syarh Bulughul Maram) dan kitab Majalisus Saniyah setiap malam selasa ba’dal Isya’ di masjid, serta dalam banyak kesempatan selalu berusaha mengayomi dan memberikan tausiyah kepada masyarakat.
Sebagai seorang pengasuh pesantren yang setiap hari berjumpa dengan para santri di meja belajar, KH. Muhammad baqir Adelan memiliki kepedulian yang sangat intens terhadap pelajaran-pelajaran apra santri. Terbukti, di tengah-tengah kesibukannnya mengembangkan bisnis, berorganisasi dan mengayomi masyarakat, beliau masih sempat membuahkan beberapa karya tulis, meskipun hanya digunakan di tingkat lokal. Di antara kitab-kitab karyanya adalah, Attaysiir Wattabyiin Limaqoosidi Alfoyyah ibni Malik yang dikerjakannya sejak tahun 158 M. kitab ini berisi penjelasan yang memudahkan para santri untuk memahami maksud nadhom-nadhom dalam Alfiyyah ibnu Malik.
Karya lainnya adalah kitab Sarah Asma’ul Husna, menguraikan makna yang terkandung dalam Asmaul Husna (99 Asma Allah) dengan menukil pendapat para ulama besar. Tashilul Mubtadi’ fi Ilminnahwil ’Imrithi yang ditujukan untuk mempermudah para santri mempelajari gramatika dasar bahsa Arab. Kitab Imrithi adalah kitab standar dasar pelajaran gramatika Arab di pesantren-pesantren Jawa. Serta kitab Khasyiyah Uqdatul farid fi ’Ilmil Faraidh, karya ini menunjukkan bahwa KH. Muhammad Baqir Adelan adalah sosok ulama yang mumpuni. Banyak ulama di Jawa yang meyakini bahwa ilmu faraidh (ilmu pembagian harta waris menurut syariat Islam) adalah ilmu langka yang hanya dikuasai secara mumpuni oleh ulama-ulama khusus saja. Ilmu faraidh adalah salah satu ilmu yang akan dicabut oleh Allah sejak awal sebelum kedatangan kiamat kubro.
Setelah mengarungi sedemikian banyak kisah perjalanan kehidupan, KH. Muhammad Baqir Adelan berpulang ke rahmatullah pada hari Senin tanggal 15 Mei 2006. semoga Allah menjadikan kemandirian dan kesabarannya sebagai inspirasai dan teladan bagi generasi penerusnya. Amin.
*Disarikan dari laporan penelitian Siddiq Abdur Rozzaq dan Nur Indah Kurniawati bertajuk Etos Kemandirian Kaum Santri: Studi tentang Kewirausahaan KH Moh Baqir Adelan dari Lamongan”.

Jumat, 09 Maret 2012

Halaman makbaroh KH. Moh. Baqir Adlan dipadati peziarah


ikbaltabahkranji.blogspot.com - Kranji. Kharisma  KH. Baqir Adlan, pengasuh pondok pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan , Jawa Timur, tak juga surut meski sudah wafat. Nyatanya, ratusan santri, warga desa sekitar, asatidz, sesepuh desa kranji dan sekitarnya dan tak luput pula para alumni dari berbagai daerah, mereka tetap saja berdatangan saat pondok ini menggelar haul, Jum’at pukul 15.30 (09/03/2012).

Haul ke 6 KH. Moh. Baqir Adlan dilaksanakan dengan sederhana tapi rasa hidmat peziarah tetap tinggi, walapun suasana mendung dan angin sedikit kencang.

Rangkain acara ini dimulai dengan pembukaan oleh H. Sahlul Khuluq, pembacaan yasin dipimpin oleh KH. Syafi’ Ali dan tahlil dipimpin oleh Ust Abd Majid dan terahir penutup/do’a KH Nasrullah Baqir.

Setelah acara selesai jalanan sekitar makbaroh desa kranji dipadati oleh peziaroh yang hendak pulang ada sedikit kemacetan di jalan raya Deangles kranji sekitar 10 menit (A’ang)

Kiat Pesantren Hadapi Tantangan Masa Depan

Lamongan, NU Online
Sebagai lembaga pendidikan klasik dan tertua di Indonesia, pesantren kini sedang mengalami tantangan yang berat. Pasalnya, pesantren tidak hanya dituntut dapat meningkatkan mutu pendidikan, tetapi juga harus mampu bersaing dalam bidang ekonomi dengan mengembangkan ekonomi berbasis pesantren.

Demikian disampaikan Ketua Umum Robithah Maahid Islamiyah (RMI), KH. Mahmud Ali Zen saat menjadi pembicara dalam dalam seminar dengan tema Pesantren dan Tantangan Masa Depan yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Besar Alumni Tarbiyatut Tholabah (IKBAL TABAH) di Auditorium Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah, Rabu (10/11) kemarin.

Selain KH. Mahmud Ali Zen, hadir pula dalam seminar tersebut anggota DPR RI dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) H. Taufikurrahman Saleh dan kandidat doktor dari Universitas Kebangsaan Malaysia Drs. Zaini Mahbub, M.Sc.

Menurut Kiai Mahmud sapaan akrab KH. Mahmud Ali Zen sistem yang dapat dipraktikkan oleh Pesantren di Indonesia adalah sistem ekonomi syariah, sebagaimana diterapkan oleh Pesantren Sidogiri Pasuruan. Sistem tersebut dinilai paling cocok diterapkan, karena tidak bertentangan dengan syariat Islam. Pesantren Sidogiri yang menerapkan sistem tersebut terbukti telah mengalami perkembangan ekonomi yang sangat baik. Pesantren bisa membangun ekonomi dan sistem yang diterapkan sesuai dengan syariat Islam, paparnya kepada ratusan peserta seminar.

Dikatakannya, untuk membangun pendidikan pesantren yang bermutu serta mempunyai visi ekonomi dibutuhkan keteladanan para pimpinan pesantren. Sebab, Rasulullah sendiri selama hidup memimpin umatnya selalu memberikan contoh terlebih dahulu sebelum mengajak kepada kebaikan. Rosulullah pada saat itu tidak hanya memberi konsep, tapi juga contoh, jelasnya.
Kiai yang kini menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini menambahkan, jika ada kemauan dan tekad yang bulat, semua pesantren di Indonesia akan mampu membangun ekonomi yang kuat. Sebab, Allah pada dasarnya menciptakan manusia ini sebagai umat yang terbaik, termasuk masyarakat pesantren. kalian bisa menjadi umat terbaik bagi manusia, ungkapnya sambil mengutip salah satu ayat Al-Quran.

Sementara itu, anggota DPR RI H. Taufikurrahman Saleh memaparkan pentingnya reformasi di bidang pendidikan, karena hingga saat ini mutu pendidikan Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara lain. Reformasi pendidikan, menurutnya, harus dilakukan jika bangsa Indonesia ingin mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Kita ini belum melakukan reformasi pendidikan. Jadi, sebenarnya reformasi ekonomi kita belum, pendidikan juga belum, kata mantan Ketua Komisi VI DPR RI yang membidangi pendidikan ini.
Putra Kiai Saleh ini menambahkan, pendidikan Indonesia selama ini belum mempunyai visi yang jelas, karena menyimpang dari fakta dan realita yang terjadi di masyarakat. Semakin banyaknya pengangguran disebabkan visi pendidikan yang belum jelas, sehingga dari tahun ke tahun angka pengangguran mengalami peningkatan. kita itu masih mengajari anak-anak kita untuk belajar sekolah, bukan untuk hidup. Kalau dulu orang diajara cara menyuntik sapi, sekarang harus langsung praktek nyuntik, ungkapnya.

Lantas, cara apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan? Langkah yang dapat ditempuh untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah reformasi kurikulum pendidikan, karena saat ini peserta didik ditunutut bisa belajar cepat. Reformasi tersebut harus dilakukan secara terus menerus karena kondisi masyarakat yang terus berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

Selain itu, lanjutnya, peningkatan mutu pendidikan harus ditopang dengan tenaga pendidik yang berkualitas. Karena itu, pelatihan guru harus dilakukan secara terus menerus, sehingga guru benar-benar mampu mengemban tugas sebagai tenaga pendidik. Guru harus berkualitas. Jadi mereka harus dilatih. Tapi jangan harap semua daerah itu sama. Itu harus disesuaikan dengan daerahnya, ungkapnya.


Ditambahkanya, peningkatan mutu pendidikan memang masih menghadapi persoalan yang kompleks. Di samping menyangkut masalah dana, juga masalah sistem pendidikan, baik yang bersifat makro dalam arti pendidikan nasional secara keseluruhan, maupun mikro dalam arti sistem internal di masing-masing lembaga pendidikan. Kualitas pendidikan juga ditentukan oleh metode, pola pengembangan serta atmosfer yang tumbuh berkembang dalam institusi pendidikan yang bersangkutan, kata Taufik.(amh)
http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/3757/Warta/Kiat_Pesantren_Hadapi_Tantangan_Masa_Depan.html

Kamis, 08 Maret 2012

Haul, Meneladani Sang Kiai

oleh: H. Sahlul Khuluq, Lc., MA

Acara haul KH Musthofa yang ke 62 ini marilah hayati sebagai motifasi yang mendorong kita pada peningkatan kualitas pada diri kita baik berupa keimanan kita, keilmuan, dan pendekatan kita kepada Allah yang Maha Esa. Makna Haul yang terpenting adalah, kita harus bias meeladani orang yang kita peringati setiap tahunnya.


Kalau kita cermati dan kita telaah apa yang ada sekarang ini, tidak lain hasil jerih payah para leluhur kita. Kita tidak mendapatkan ini semuanya tanpa usaha KH Musthoafa. Untuk itulah kita harus kembali kepada Visi beliau, yaitu menciptakan Insan Kamil, Manusia yang sempurna. Artinya kesempurnaan manusia adalah karena ia dikaruniani Akal. Sehingga manusia berbeda dengan hewan.


Akal merupakan nikmah yang tiada hingga. Namun nilai akal tidak lepas dari apa yang didapat oleh akal itu sendiri. Untuk itulah seharusnya, -untuk meneladani KH Musthofa- langkah pertama adalah kita harus meningkatkan kualitas keilmuan yang dimiliki oleh civitas akademika yang bernaung di bawah Yayasan Tarbiyatut Tholabah.


Selalu timbul pertanyaan, kenapa siswa dan santri sekarang semakin jauh dari kualitas yang diharap, tertuma dari segi keilmuan. Marilah semuanya kita mulai dari kita sendiri-sendiri. Saya selalu teringat akan almaghfurlah KH Moh Baqir Adelan, beliau semasa hidupnya tidak pernah lepas dari kitab. Walaupun beliau penuh kesibukan baik dalam lingkup internal maupun ekternal, namun beliau tidak pernah lupa untuk membaca sebagai tambahan ilmu.


Saya selalu teringat akan syair yang dibacakan kepada saya. Yang artinya “Jadilah engkau yang selalu bertambah pengetahuan mu setiap hari”. Lalu beliau memberikan nasihat : jangan sampai satu haripun kamu tidak mendapat pengetahuan yang baru, namun jangan lupa mengulang apa yang kamu pelajari.


Nasehat beliau inilah yang menjadikan saya sebagai motivasi, bahwa kita harus berilmu luas. Artinya, kita tidak cukup hanya membaca dan belajar tapi ada upaya selain membaca untuk mendapatkan ilmu, -seperti yang dilakukan oleh KH Musthofa- melalui tirakat, memperbanyak do’a, menjahui kemaksiatan sebisa mungkin, sopan kepada para Masayikh dan Guru DLL


Di antara yang beliau sampaikan yang selalu segar ditelingaku adalah. Al-Ilmu fi al-sudur. La fi al-Suthur (Ilmu itu di dada/hati, buka di bukuu). Kalau mengingat apa yang beliau sampaikan, maka untuk saat ini santri, siswa, mahasiswa, guru dan dosen sekalipun yang ada, sangat jauh sekali di bawah standar yang beliau sampaikan. Belum lagi ditambah Beramal-dan Ikhlas.


H. Sahlul Khuluq, Lc., MA adalah  putra Almarhum KH Moh. Baqir Adelan 
dikutip dari:  http://wasiat-jakarta.blogspot.com/2011/02/haul-meneladani-sang-kiai.html

Rabu, 07 Maret 2012

Pemilukada Masih Rawan Pembajakan

JJudul Buku: Khofifah Indar Parawansa; Melawan Pembajakan Demokrasi, Pelajaran dari Tragedi Pilkada Jawa Timur
Penulis: Ahmad Millah Hasan
Penerbit: Pesat, Jakarta
Cetakan: I, 2010
Tebal: xx + 452
peresensi: Fathur Rozi

Orang biasanya hanya bangga dengan kemenangan. Karena itu, orang akan sedih melihat dokumentasi yang menceritakan kekalahan. Namun, kekalahan yang menimpa pasangan Khofifah-Mudjiono (Kaji) pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Jawa Timur pada 2008 silam berbeda. Meskipun kalah, justru sang pelaku sejarah merasa bangga.

Itulah menariknya dari buku berjudul Khofifah melawan pembajakan demokrasi; pelajaran dari Tragedi Pilkada Jawa Timur, karya Ahmad Millah Hasan. Buku ini menceritakan perjalanan pasangan Kaji pada Pemilukada Jawa Timur yang diwarnai dengan berbagai kecurangan, mulai dari kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT), keterlibatan aparat birokrasi, mandulnya Panwaslu, KPU yang berpihak, hingga manipulasi hasil penghitungan suara yang akhirnya berujung gugatan di meja Mahkamah Konstitusi (MK).

Adalah kekalahan karena dicurangi yang membuat Khofifah tak merasa malu menerima kenyataan. Kekalahan yang menimpanya justru mengangkat dan mengokohkan citra positifnya di masyarakat. Apalagi setelah kecurangan yang menimpanya benar-benar terbukti, dan bahkan terulang lagi pada Pemilu Legislatif 2009 lalu. Banyak pihak malah membenarkan sikapnya yang ‘ngotot’ mengungkap pembajakan demokrasi pada Pemilukada Jawa Timur.

Memang, jika demokrasi ukurannya hanya pemilihan langsung atau tidak langsung, tentu, Indonesia adalah negara yang cukup berhasil mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Betapa tidak, di negeri dengan lebih dari 220 juta penduduk ini, presiden hingga kepala desa dipilih secara langsung.

Namun, demokrasi tidak sebatas itu saja. Demokrasi juga diukur oleh kualitas penyelenggarannya. Demokrasi harus dijalankan sesuai prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran serta penghormatan terhadap nilai, norma dan aturan hukum yang berlaku.

Mengaca pada Pemilukada Jawa Timur pada 2008, Demokrasi di Indonesia juga belum sepenuhnya memenuhi prinsip-prinsip tersebut. Sebab, dalam banyak kesempatan, proses demokrasi di negeri ini, masih menyisakan tidak sedikit persoalan. Khusus pada kasus yang dialami Khofifah, pesta demokrasi lokal di provinsi, berpenduduk terbesar di Indonesia itu, tidak hanya menyisakan satu, melainkan banyak persoalan yang sangat kompleks.

Saking kompleksnya persoalan pada pemilukada itu, pemungutan suara pun harus digelar hingga tiga kali atau tiga putaran. Satu di antaranya pemungutan suara ulang di dua kabupaten: Bangkalan dan Sampang, plus penghitungan suara ulang di Pamekasan.

Hal itu dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa telah benar-benar terjadi pelanggaran di tiga kabupaten tersebut sehingga harus dilakukan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang. Pelanggaran yang dimaksud bukanlah pelanggaran yang bersifat insidental atau pun sporadis.

MK dengan yakin menyebut pelanggaran yang terjadi sebagai pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif. Sistematis karena pelanggaran dilakukan secara terencana, terorganisasi, profesional, dan dengan perhitungan yang matang. Terstruktur lantaran kejahatan politik tersebut melibatkan aparat/oknum lembaga negara, yakni Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Dan, masif karena pelanggaran itu bukan hanya di satu tempat pemungutan suara, sehingga sangat memengaruhi hasil akhir. Saking sistematis, terstruktur dan masifnya, pelanggaran serupa kembali terjadi pada pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang.

Di antara kasus yang patut menjadi pelejaran bangsa Indonesia, adalah kasus dugaan (kuat) manipulasi (DPT), kurang siapnya lembaga penyelenggara pemilukada, maraknya praktik-praktik pelanggaran, serta kecurangan yang dilakukan pihak-pihak tertentu.

Dalam DPT yang diduga manipulatif itu ditemukan ratusan ribu pemilih di Bangkalan dan Sampang yang tak bisa menyalurkan hak pilihnya karena tak masuk dalam DPT. Temuan lain adalah adanya ratusan ribu nama dan nomor induk kependudukan (NIK) ganda, serta adanya pemilih di bawah umur dan nama-nama fiktif. Pelanggaran-pelanggaran itu baru satu di antara banyak pelanggaran lain, terutama jenis-jenis pelanggaran yang dapat disengketakan di MK.

Karena kecurangan yang terjadi, Pemilukada Jawa Timur hingga kini masih mencatat rekor sebagai pesta demokrasi lokal terpanjang dan termahal di Indonesia. Disebut termahal digelar hingga tiga kali putaran atau tiga kali pemungutan suara. Satu di antaranya pemungutan suara ulang di dua kabupaten: Bangkalan dan Sampang, plus penghitungan suara ulang di Pamekasan. Disebut termahal tentu juga karena biaya besar dikeluarkan. Tidak hanya untuk penyelenggarannya, melainkan juga bagi proses penyelesaian sengketa yang berlarut-larut.

Pemilu yang demokratis, jujur dan adil akan menjadi jaminan bagi lahirnya pemimpin yang mampu mengemban amanat dan berpihak pada rakyat. artinya, proses berdemokrasi tanpa kecurangan akan mendekatkan demokrasi itu sendiri pada tujuannya, yakni kesejahteraan rakyat.

Demikian pula bagi para elite politik. Kualitas demokrasi tidak hanya ditentukan seberapa besar tingkat partisipasi masyarakat, melainkan juga sejauh mana para elitenya menggunakan cara-cara halal dan bersih dalam berpolitik.

Dalam demokrasi, masyarakat bukan sekadar pemilih yang punya hak suara. Masyarakat juga berhak dan bertanggung jawab mengawasi proses demokratisasi itu agar berjalan sesuai jalurnya. Proses demokratisasi tidak bisa hanya dipasrahkan begitu saja pada institusi-institusi tertentu. Maka, jika dalam prosesnya terjadi penyimpangan, masyarakat punya hak dan tanggung jawab untuk meluruskannya.

Buku ini penting sebagai pengingat bagi bangsa Indonesia yang masih berada dalam proses kematangan berdemokrasi. Apalagi, di masa mendatang, Indonesia masih akan menerapkan demokrasi langsung.

Itu artinya, potensi kecurangan, kekisruhan dan sekian permasalahan lain bisa terjadi. Jika tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin pesta demokrasi yang melelahkan sekaligus berbiaya tinggi itu hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang mengingkari amanat pemilihnya.
Dalam buku ini terdapat ulusan rinci yang diperkuat beragam data pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif, bukan hanya penting untuk diketahui sebagai informasi semata, tapi penting sebagai pelajaran agar demokrasi di Indenesia semakin berkualitas.(*)

Fathur Rozi
Peresensi adalah alumni MAK Tarbiyatut Tholabah, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dikutip dari: http://suar.okezone.com/read/2010/12/20/285/405135/pemilukada-masih-rawan-pembajakan

Spirit Kapital Perempuan Pesisir

Judul Buku :Ruang Sosial Perempuan Pesisir
Penulis       : Abdul Chalik, Nurul Yakin
Penerbit     : Interpena, Yogyakarta & BP2M STAIDRA Lamongan
Cetakan    : Pertama, 2008
Tebal        : xii + 160 halaman.
persensi    :hilyaliya





Eksistensi Kepulauan Nusantara, termasuk Pulau Jawa, sebagai wilayah maritim telah lama dikenal dunia. Kondisi ini bukan hanya menguntungkan bandar-bandar (kota) di pesisir pantai utara pada masa lalu, namun juga mampu menghidupi para penduduk yang mendiami teritori pesisir dan kemudian menciptakan status sosial yang khas, nelayan.

Kehidupan pantai dengan terik matahari yang menyengat dan pengalaman berburu ikan di laut lepas membuat kehidupan nelayan identik dengan budaya serba keras dan kasar. Namun pada masa dimana kapal dan perahu menjadi satu-satunya alat transportasi yang menghubungkan antar peradaban, komunitas pesisirlah yang mula-mula berinteraksi secara langsung dengan kebudayaan luar pulaunya. Tidak mengherankan apabila kemudian penyebaran agama pun dimulai dari kawasan pesisir.

Sekitar daerah pantai utara Jawa, atau yang biasa dikenal dengan Pantura, sendiri sejak abad 15 telah berdiri pelabuhan-pelabuhan yang menjadi tempat persinggahan para saudagar Muslim dari berbagai negara, utamanya dari India, Campa, Gujarat dan Arab. (halaman, 8). Karenanya Lasem, Tuban, Gresik, dan Surabaya pada masa itu juga sudah dikenal sebagai kota Bandar, tempat lalu-lalang kapal yang melakukan perniagaan.

Pencarian Identitas Nelayan

Buku ini pada awalnya merupakan kajian yang menggabungkan riset dan pemberdayaan dalam satu paket kegiatan, atau yang biasa disebut sebagai metode Participatory Action Research (PAR), oleh duet penulisnya Abdul Chalik dan Nurul Yakin terhadap komunitas nelayan di daerah Kranji, Lamongan Jawa Timur.

Masyarakat nelayan Kranji mengenal sistem yang secara hierarkis dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua unsur yang terlibat dalam penangkapan ikan. Yaitu: Daokeh merupakan sebutan untuk pemilik perahu, biasanya tidak tahu-menahu tentang urusan operasional. Jragan merupakan orang yang bertanggung-jawab terhadap operasional perahu. Belah adalah sebutan untuk orang-orang yang ikut terlibat dalam pengoperasian kapal secara keseluruhan.(halaman, 16).

Terungkap terdapat tiga hal yang menjadi kendala utama para nelayan, terutama di Kanji, dalam aktivitas keseharian mereka. Pertama, terbatasnya teknologi navigasi bagi para nelayan tersebut untuk mendapatkan hasil tangkapan yang mencukupi. Meskipun pada tahun 1977 telah dikenal perahu kapal porsesaine atau masyarakat Kanji menyebutnya Kusin, perahu yang menggunakan mesin temple dengan bahan bakar solar atau bensin, untuk menggantikan Puket Ireng , namun masuknya budaya popuer nan konsumtif membuat alat tersebut diyakini tidak mampu mencukupi kebutuhan para nelayan tersebut. (halaman, 56).

Kedua, terbatasnya sumber dana. Permodalan merupakan masalah krusial yang mengganggu percepatan nelayan Kranji menutupi kebutuhan hidupnya. Sehingga muncul pemeo, “gali lobang tutup lobang”. Model kredit kepada para Daokeh (pemilik perahu) menyebabkan para nelayan masuk lingkaran setan yang tak berkesudahan mengingat posisinya yang lemah dibanding Daokeh.

Ketiga, proses penangkapan ikan dan pembagian hasil. Berbeda dengan penangkapan ikan dengan teknologi modern, menggunakan teknologi yang tergolong tradisional seperti nelayan Kranji bukan hanya kesulitan tetapi juga menimbulkan beberapa masalah. Pertama, kerusakan lingkungan akibat adanya pembangunan pelabuhan membuat ikan menjauh dan para nelayan tradisional ini mengalami kesulitan berarti. Kedua, ketergantungan terhadap alam. Ketiga, pembagian hasil tangkapan. Ketika musim along (banyak ikan) dan hasil tangkapan melimpah maka semua unsur baik Daokeh, Jragan, dan Belah dapat merasakan keuntungan, akan tetapi ketika ngoreng (tidak dapat ikan) atau musim baratan, tidak jarang seorang Belah yang bekerja di Laut 2-3 hari hanya mendapatkan 10 ribu rupiah.

Belakangan, seiring dengan kemajuan teknologi, transformasi, informasi dan pergeseran peta kekuasaan, posisi pesisir sebagai benteng peradaban lambat laun bergeser ke wilyah “pedalaman”. Profesi nelayan dan penghuni pesisir pulau pun bukan lagi menjadi favorit, terlebih segala kebijakan pemerintah yang kerap tidak berpihak pada strata masyarakat kelas ini, membuat nelayan harus lebih keras membanting tulang demi mencukupi kebutuhannya.

Perempuan Pesisir

Pada akhirnya perubahan tersebut bukan hanya merubah ekonomi nelayan, tetapi juga memaksa mereka untuk mendekonstruksi segala pranata sosial yang ada, entah kemudian perkembangannya mengarah ke arah yang lebih positif maupun sebaliknya. Salah satu pergeseran budaya tersebut dapat terlihat dari bagaimana konsepsi di kalangan nelayan sendiri mengenai relasinya dengan kaum Hawa alias perempuan.

Potret perempuan yang hanya berperan sebagai konco wingking laki-laki, dalam tradisi masyarakat Jawa, dan peranannya hanya berkutat pada ruang domestik meliputi: dapur, sumur dan kasur nampaknya sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Setidaknya demikian hasil riset penulis buku ini yang dilakukan pada masyarakat Kranji, Lamongan Jawa Timur.

Dalam kultur yang patriarkis, posisi perempuan yang ter-subordinasikan oleh kalangan laki-laki biasanya terjadi di ruang-ruang publik, sehingga ruang publik tersebut kemudian menjadi identik dengan dunia laki-laki. Hegemoni laki-laki atas kaum perempuan ini bisa dilandaskan atas berbagai aspek, seperti: secara fisik laki-laki lebih kuat dibanding perempuan, adanya asumsi bahwa psikologis perempuan lebih rapuh dan selain itu biasanya juga di back-up oleh pemahaman atas klaim-klaim agama yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan.

Selain itu, perempuan juga sering dicitrakan sebagai manusia yang lemas, tidak mampu untuk mandiri. Sehingga kemudian dibebankan tugas-tugas yang dianggap lebih ringan, seperti mengurus anak, memasak dan lain sebagainya. Sedangkan tugas yang lebih berat dibebankan kepada laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan berkewajiban pencari nafkah.

Tuduhan-tuduhan tersebut ternyata tidak berdasar, setidaknya demikianlah potret perempuan nelayan di Kranji. Selain menjalani kehidupan keagamaan yang kuat, mereka juga perempuan pekerja keras. (halaman, 94). Hanya sedikit diantara mereka yang menganggur pada jam-jam di luar aktivitas rutin sebagai ibu rumah tangga.

Keterlibatan perempuan dalam urusan ekonomi pada awalnya merupakan keterpaksaan, untuk membantu pendapatan keluarga yang tidak mampu dipenuhi secara maksimal oleh suami. Bu Asrifah misalnya yang berkeliling kampung setiap hari berjualan nasi bungkus. Selain itu, demi membantu suami yang berprofesi nelayan, ia juga mempunyai usaha krupuk.

Lain lagi dengan Mbah Karmi, 80 tahun, seorang janda yang hidup sebatang kara telah enekuni usaha krupuk ikan ini mulai tahun 1953 dan masih eksis hinga kini, meskipun usahanya hanya menghasilkan pemasukan 10.000/perhari. Spirit kapital para perempuan pesisir ini patut diacungi jempol, terlebih di tengah kondisi sulit bangsa ini.

http://hilyaliya.wordpress.com/2011/01/27/spirit-kapital-perempuan-pesisir/