Renungan





“Sesungguhnya Allah SWT tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Ar-Ra’du; 11)





Rabu, 07 Maret 2012

Pemilukada Masih Rawan Pembajakan

JJudul Buku: Khofifah Indar Parawansa; Melawan Pembajakan Demokrasi, Pelajaran dari Tragedi Pilkada Jawa Timur
Penulis: Ahmad Millah Hasan
Penerbit: Pesat, Jakarta
Cetakan: I, 2010
Tebal: xx + 452
peresensi: Fathur Rozi

Orang biasanya hanya bangga dengan kemenangan. Karena itu, orang akan sedih melihat dokumentasi yang menceritakan kekalahan. Namun, kekalahan yang menimpa pasangan Khofifah-Mudjiono (Kaji) pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Jawa Timur pada 2008 silam berbeda. Meskipun kalah, justru sang pelaku sejarah merasa bangga.

Itulah menariknya dari buku berjudul Khofifah melawan pembajakan demokrasi; pelajaran dari Tragedi Pilkada Jawa Timur, karya Ahmad Millah Hasan. Buku ini menceritakan perjalanan pasangan Kaji pada Pemilukada Jawa Timur yang diwarnai dengan berbagai kecurangan, mulai dari kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT), keterlibatan aparat birokrasi, mandulnya Panwaslu, KPU yang berpihak, hingga manipulasi hasil penghitungan suara yang akhirnya berujung gugatan di meja Mahkamah Konstitusi (MK).

Adalah kekalahan karena dicurangi yang membuat Khofifah tak merasa malu menerima kenyataan. Kekalahan yang menimpanya justru mengangkat dan mengokohkan citra positifnya di masyarakat. Apalagi setelah kecurangan yang menimpanya benar-benar terbukti, dan bahkan terulang lagi pada Pemilu Legislatif 2009 lalu. Banyak pihak malah membenarkan sikapnya yang ‘ngotot’ mengungkap pembajakan demokrasi pada Pemilukada Jawa Timur.

Memang, jika demokrasi ukurannya hanya pemilihan langsung atau tidak langsung, tentu, Indonesia adalah negara yang cukup berhasil mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Betapa tidak, di negeri dengan lebih dari 220 juta penduduk ini, presiden hingga kepala desa dipilih secara langsung.

Namun, demokrasi tidak sebatas itu saja. Demokrasi juga diukur oleh kualitas penyelenggarannya. Demokrasi harus dijalankan sesuai prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran serta penghormatan terhadap nilai, norma dan aturan hukum yang berlaku.

Mengaca pada Pemilukada Jawa Timur pada 2008, Demokrasi di Indonesia juga belum sepenuhnya memenuhi prinsip-prinsip tersebut. Sebab, dalam banyak kesempatan, proses demokrasi di negeri ini, masih menyisakan tidak sedikit persoalan. Khusus pada kasus yang dialami Khofifah, pesta demokrasi lokal di provinsi, berpenduduk terbesar di Indonesia itu, tidak hanya menyisakan satu, melainkan banyak persoalan yang sangat kompleks.

Saking kompleksnya persoalan pada pemilukada itu, pemungutan suara pun harus digelar hingga tiga kali atau tiga putaran. Satu di antaranya pemungutan suara ulang di dua kabupaten: Bangkalan dan Sampang, plus penghitungan suara ulang di Pamekasan.

Hal itu dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa telah benar-benar terjadi pelanggaran di tiga kabupaten tersebut sehingga harus dilakukan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang. Pelanggaran yang dimaksud bukanlah pelanggaran yang bersifat insidental atau pun sporadis.

MK dengan yakin menyebut pelanggaran yang terjadi sebagai pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif. Sistematis karena pelanggaran dilakukan secara terencana, terorganisasi, profesional, dan dengan perhitungan yang matang. Terstruktur lantaran kejahatan politik tersebut melibatkan aparat/oknum lembaga negara, yakni Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Dan, masif karena pelanggaran itu bukan hanya di satu tempat pemungutan suara, sehingga sangat memengaruhi hasil akhir. Saking sistematis, terstruktur dan masifnya, pelanggaran serupa kembali terjadi pada pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang.

Di antara kasus yang patut menjadi pelejaran bangsa Indonesia, adalah kasus dugaan (kuat) manipulasi (DPT), kurang siapnya lembaga penyelenggara pemilukada, maraknya praktik-praktik pelanggaran, serta kecurangan yang dilakukan pihak-pihak tertentu.

Dalam DPT yang diduga manipulatif itu ditemukan ratusan ribu pemilih di Bangkalan dan Sampang yang tak bisa menyalurkan hak pilihnya karena tak masuk dalam DPT. Temuan lain adalah adanya ratusan ribu nama dan nomor induk kependudukan (NIK) ganda, serta adanya pemilih di bawah umur dan nama-nama fiktif. Pelanggaran-pelanggaran itu baru satu di antara banyak pelanggaran lain, terutama jenis-jenis pelanggaran yang dapat disengketakan di MK.

Karena kecurangan yang terjadi, Pemilukada Jawa Timur hingga kini masih mencatat rekor sebagai pesta demokrasi lokal terpanjang dan termahal di Indonesia. Disebut termahal digelar hingga tiga kali putaran atau tiga kali pemungutan suara. Satu di antaranya pemungutan suara ulang di dua kabupaten: Bangkalan dan Sampang, plus penghitungan suara ulang di Pamekasan. Disebut termahal tentu juga karena biaya besar dikeluarkan. Tidak hanya untuk penyelenggarannya, melainkan juga bagi proses penyelesaian sengketa yang berlarut-larut.

Pemilu yang demokratis, jujur dan adil akan menjadi jaminan bagi lahirnya pemimpin yang mampu mengemban amanat dan berpihak pada rakyat. artinya, proses berdemokrasi tanpa kecurangan akan mendekatkan demokrasi itu sendiri pada tujuannya, yakni kesejahteraan rakyat.

Demikian pula bagi para elite politik. Kualitas demokrasi tidak hanya ditentukan seberapa besar tingkat partisipasi masyarakat, melainkan juga sejauh mana para elitenya menggunakan cara-cara halal dan bersih dalam berpolitik.

Dalam demokrasi, masyarakat bukan sekadar pemilih yang punya hak suara. Masyarakat juga berhak dan bertanggung jawab mengawasi proses demokratisasi itu agar berjalan sesuai jalurnya. Proses demokratisasi tidak bisa hanya dipasrahkan begitu saja pada institusi-institusi tertentu. Maka, jika dalam prosesnya terjadi penyimpangan, masyarakat punya hak dan tanggung jawab untuk meluruskannya.

Buku ini penting sebagai pengingat bagi bangsa Indonesia yang masih berada dalam proses kematangan berdemokrasi. Apalagi, di masa mendatang, Indonesia masih akan menerapkan demokrasi langsung.

Itu artinya, potensi kecurangan, kekisruhan dan sekian permasalahan lain bisa terjadi. Jika tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin pesta demokrasi yang melelahkan sekaligus berbiaya tinggi itu hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang mengingkari amanat pemilihnya.
Dalam buku ini terdapat ulusan rinci yang diperkuat beragam data pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif, bukan hanya penting untuk diketahui sebagai informasi semata, tapi penting sebagai pelajaran agar demokrasi di Indenesia semakin berkualitas.(*)

Fathur Rozi
Peresensi adalah alumni MAK Tarbiyatut Tholabah, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dikutip dari: http://suar.okezone.com/read/2010/12/20/285/405135/pemilukada-masih-rawan-pembajakan

1 komentar: