Renungan





“Sesungguhnya Allah SWT tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Ar-Ra’du; 11)





Kamis, 19 April 2012

Ujian Nasional Memanusiakan Manusia

Perbincangan Ujian Nasional baik tingkat SD/SMP/SMA selalu menarik dibicarakan, mulai dari kasus bocoran kunci jawaban, kekurangan soal, pengawas yang ketiduran, dan masih banyak kasus-kasus yang selalu akan terjadi di dunia pendidikan terutama terkait dengan UN. Sebab selama ini UN dianggap sebagai penentu masa depan anak-anak bangsa. Namun demikian, kasus UN juga selalu menjadi momok bagi siswa, tenaga pendidik dan masyarakat. 
Bahkan kontroversi ada dan tidak adanya UN juga selalu menjadi pembicaraan yang selalu hangat untuk dibahas, sebagian berasumsi bahwa UN sudah tidak perlu diadakan sebab penentuan anak bangsa tidak cukup dengan Ujian Nasional yang hanya dilaksanakan beberapa hari saja. Sebagian yang lain mengatakan bahwa UN harus tetap diadakan sebab untuk menguji keberhasilan harus diadakan suatu evaluasi yang terukur dan akuntabilitas.
Kedua argumen yang sering diperbincangkan tersebut baik di media cetak atau televisi selalu tidak ada habis-habisnya, memang kedua argumen itu tidak salah tetapi dari satu sisi juga salah. Tidak salah karena sesuatu kegiatan patut untuk diukur berhasil dan tidak berhasilnya suatu kegiatan, salah karena cara mengukur dan alat yang dibuat mengukur suatu kegiatan juga salah, sehingga berdampak hasil yang kurang tepat. Masing-masing argumen mempunyai sisi kelemahan dan kelebihan.
Kelemahan pertama diakibatkan oleh ketidak percayaan bahwa ujian nasional tidak akan dikerjakan 100% oleh siswa/siswinya, sehingga UN dianggap tidak penting dan kurang mencerdaskan peserta didik bahkan sebaliknya. Hal tersebut terjadi karena ketakutan para pendidik terhadap anaknya yang tidak lulus UN yang berdampak tidak mendapatkan siswa dikemudian hari. Kasus ini juga terbukti sekolah di Surabaya yang siswanya tidak banyak yang lulus sehingga peminat siswa terhadap lembaga menurus secara derastis. Begitu juga kasus yang pernah terjadi di dunia pendidikan terkait dengan lembaga pendidikan menyewa seseorang (joki) untuk mengerjakan soal UN, karena takut siswanya tidak lulus. Dan masih banyak kasus-kasus UN yang bermasalah yang disebabkan oleh UN, sehingga UN menjadi momok masyarakat sesuatu yang menakutkan. Tidak heran kalau sebagian pengamat pendidikan mengatakan bahwa ”Ujian Nasional tidak memanusiakan manusia”. Tidak salah kalau kemudia ada sebagian pengamat pendidikan yang mengatakan UN tidak perlu diujikan.
Kelemahan kedua salah kalau Ujian Nasional tidak diperlukan, sebab segala sesuatu harus diukur dan dievaluasi. Memang segala sesuatu perlu diukur dan dievaluasi, persoalanya adalah apakah alat yang dibuat ukur sudah tepat 100%? Jangan-jangan alat yang dibuat ukur tidak valid dan tidak akuntabilitas? Sehingga alat ukur itu sendiri yang menjadikan momok yang menakutkan bagi khalayak masyarakat. Kalau kita analisa bahwa alat ukur yang diberikan oleh pemerintah masih jauh dari sasaran. Memang kalau dilihat dari kisi-kisi UN sudah ada, dengan kata lain, soal yang akan diujikan sesuai dengan kisi-kisi yang telah dibuat pemerintah. Tetapi yang menjadi persoalan apakah kisi-kisi itu sudah sesuai dengan latar belakang budaya dan georafis siswa? Jawaban tentu tidak sebab budaya dan georafis di Indonesia berbeba-beda, seperti papua tentu tidak dapat disamakan dengan jawa dan begitu pula yang lainnya. Di samping itu, diakui atau tidak adanya UN tentu ada unsur kepentingan politik dari berbagai pihak dari pemerintah sampai satuan pendidikan.
Sebab selama ini, ada kesan dari masyarakat bahwa pada waktu UN bukannya peserta didik yang mengerjakan soal UN tetapi guru yang mengampu materi UN yang mengerjakannya, sementara peserta didik tinggal menunggu hasil jawaban yang sudah dikerjakannya. Kalau situasi dan kondisi tersebut sudah merajalela, pemerintah tidak perlu lagi berharap pendidikan berbasis berkarakter akan berhasil tetapi justru akan jauh dari keberhasilan. Harapan pendidikan berbasis karakter akan menjadi impian semu, seperti pepatah orang Jepang yang berbunyi “Visi tanpa aksi seperti mimpi di siang bolong. Aksi tanpa visi adalah mimpi buruk”.
Oleh sebab itu, dibutuhkan langkah-langkah bijak yang dapat menghargai kedua belah pihak, yaitu dengan cara tetap diadakanya UN akan tetapi yang menentukan kelulusan dari masing-masing satuan pendidikan sehingga kelulusan tidaknya peserta didik dapat dilihat aktif tidaknya mereka begitu pula sisi kognitif, psikomotorik, dan afektifnya. Dengan demikian, pemerintah tidak merasa terbebani, begitu pula satuan pendidikan dan pendidik tidak merasa beban moral sehingga keseriusan peserta didik dalam menghadapi UN akan belajar dengan serius tidak mengantungkan kepada guru atau lembaga, maka secara tidak langsung peserta didik akan muncul kepercayaan dirinya dan pengembangan pendidikan berbasis karakter akan dapat dimanifestasikan dalam wujud UN.
Bila langkah-langkah tersebut dilaksanakan akan berdampak positif bagi semua pihak, tujuan evaluasi baik tujuan umum evaluasi maupun tujuan khusus evaluasi akan sesuai harapan yang dicita-citakan. Ketidak lulusan peserta didik dapat menjadi tanggung jawab mereka sendiri manakalah mereka tidak serius dalam menghadapi masa-masa di sekolah, begitu juga guru melaksanakan tugasnya membuat soal seperti kisi-kisi yang telah ditentukan oleh pemerintah sehingga masing-masing pihak tidak ada yang dirugikan. Bahkan akan terjadi saling menghargai satu sama lain atas tugas yang diembannya. Hal ini bukan berarti menyisikan atau mengesampingkan output dari Ujian Nasional, di mana antara lain alasan pemerintah adanya UN karena menjaga harkat dan martabat bangsa dengan Negara lain. Tetapi dengan cara yang demikian, Negara dan bangsa akan terangkat, justru sebaliknya, dengan cara-cara yang tidak jujur siswa menjadi kurang memiiki sikap percaya diri.


Moh. Syamsul Falah adalah ketua umum IKBAL TABAH dan Pempinan Pendidikan Diniyah Formal kranji


1 komentar: